Laila Akira Episode 7
Langit Jogja pagi itu berwarna kelabu, seolah mencerminkan suasana hati Laila Akira.
Langit Jogja pagi itu berwarna kelabu, seolah mencerminkan suasana hati Laila Akira. Kantor Lentera Nusantara yang biasanya menjadi tempat berlindung dan berpikir kini terasa seperti arena perang setelah penggerebekan kemarin. Berkas-berkas berserakan, komputer mereka hancur, dan ancaman di secarik kertas masih terngiang di benak Laila: "Hentikan sekarang, atau kau akan menyesal."
Namun, ancaman itu hanya memperkuat tekadnya. Dengan Bima di sisinya, Laila tahu bahwa mereka harus melanjutkan penyelidikan, meskipun risiko semakin besar.
Laila menatap peta kuno yang ia temukan di peti Willem van Bruggen. Tanda-tanda pada peta itu mengarah ke sebuah lokasi di lereng barat Gunung Merapi, tepat di tempat yang disebut Astana Langit. Namun, daerah itu sekarang tidak berpenghuni setelah letusan dahsyat beberapa tahun lalu.
"Aku sudah menghubungi teman lama di Universitas Gadjah Mada," kata Bima sambil menyesruput kopi hitam pahitnya. "Dia seorang arkeolog dan pernah meneliti kawasan itu. Namanya Damar. Katanya dia bisa membantu kita."
Beberapa jam kemudian, mereka bertemu Damar di sebuah kafe kecil dekat Malioboro. Pria itu berpenampilan sederhana dengan rambut sedikit berantakan, tapi matanya memancarkan kecerdasan.
"Astana Langit adalah situs yang penuh misteri," kata Damar sambil membuka catatan lamanya. "Dahulu, tempat itu digunakan sebagai pusat pemujaan bintang oleh masyarakat kuno. Banyak orang percaya bahwa situs itu menyimpan rahasia besar, sesuatu yang bahkan bisa mengubah sejarah."
Damar menunjukkan sebuah sketsa batu prasasti yang ditemukan di kawasan itu. Ukirannya sangat mirip dengan simbol bintang yang ada di peta Laila.
"Tapi hati-hati," lanjut Damar dengan nada serius. "Daerah itu tidak hanya berbahaya karena medannya. Banyak yang tidak ingin situs itu ditemukan, termasuk mereka yang bekerja di balik bayangan."
Keesokan harinya, Laila, Bima, dan Damar memulai perjalanan ke Astana Langit. Jalan menuju lokasi itu dipenuhi rintangan. Mereka harus melewati jalur sempit yang terjal dan licin akibat hujan semalam. Angin dingin menerpa wajah mereka, membuat suasana semakin mencekam.
Di tengah perjalanan, Damar menunjukkan reruntuhan bangunan kuno yang tersebar di sepanjang jalan.
"Ini adalah bagian dari kompleks Astana Langit," jelasnya. "Namun, bagian utamanya ada di puncak bukit itu."
Ketika mereka hampir mencapai lokasi, suara langkah kaki dan gemerisik daun membuat mereka berhenti. Laila memberikan isyarat kepada yang lain untuk diam. Dari balik semak-semak, mereka melihat dua pria berjubah hitam dengan senjata laras panjang berjaga di sekitar pintu masuk gua yang tampaknya menuju ke pusat Astana Langit.
"Sepertinya mereka menunggu kita," bisik Bima.
"Atau melindungi sesuatu di dalam sana," tambah Laila. Ia menatap pintu masuk itu dengan tajam. "Kita harus masuk tanpa mereka sadari."
Dengan bantuan Damar, mereka menemukan jalur alternatif melalui sisi lain bukit. Jalur itu lebih sempit dan penuh dengan batu tajam, tapi berhasil membawa mereka ke bagian belakang gua tanpa terdeteksi.
Di dalam gua, mereka menemukan ukiran-ukiran di dinding yang menggambarkan peta bintang yang sama seperti yang ada di peta kuno mereka. Lorong itu membawa mereka ke sebuah ruang besar, di mana sebuah altar berdiri megah di tengahnya. Di atas altar, terdapat bola kristal yang memancarkan cahaya redup.
"Ini pasti pusat pemujaan mereka," bisik Damar, matanya berbinar melihat keindahan artefak itu.
Namun, sebelum mereka bisa mendekat, suara langkah kaki kembali terdengar. Kali ini lebih banyak dan lebih berat. Dari balik lorong, pria dengan bekas luka di pipi yang mereka lihat di gua Lumbung Bintang muncul bersama anak buahnya.
"Tepat waktu, Nona Akira," katanya dengan nada mengejek. "Terima kasih sudah memandu kami ke sini."
Laila berdiri tegak, berusaha menyembunyikan rasa gugupnya. "Siapa kalian? Dan apa yang kalian inginkan?" tanyanya tegas.
Pria itu tersenyum dingin. "Kami adalah penjaga rahasia ini. Rahasia yang tidak boleh jatuh ke tangan orang yang salah. Dan kau, Nona Akira, terlalu banyak tahu."
Tanpa peringatan, salah satu anak buahnya mengarahkan senjata ke arah Laila. Tapi sebelum ia sempat menarik pelatuk, Bima dan Damar menyerang dari sisi lain. Kekacauan pun terjadi. Dalam keributan itu, Laila berhasil mencapai altar dan mengambil bola kristal. Cahaya dari bola itu tiba-tiba berubah menjadi terang benderang, menerangi seluruh ruangan.
Pria dengan luka di pipi tampak terkejut. "Letakkan itu!" teriaknya.
Namun, bola kristal itu mulai bergetar, seolah-olah merespons keberadaan Laila. Suara gemuruh terdengar dari dinding gua, membuat semua orang berhenti. Batu-batu mulai runtuh, memaksa mereka untuk melarikan diri.
Laila, Bima, dan Damar berhasil keluar dari gua tepat sebelum seluruh tempat itu runtuh. Bola kristal masih ada di tangan Laila, tetapi sinarnya telah meredup.
"Apa yang baru saja terjadi?" tanya Bima dengan napas terengah-engah.
Damar menatap bola kristal itu dengan penuh rasa ingin tahu. "Aku tidak tahu pasti, tapi aku yakin benda ini adalah kunci dari semua misteri yang Willem van Bruggen coba ungkap."
Laila menatap benda itu dalam diam. Ia tahu bahwa perjalanan mereka belum berakhir. Bola kristal itu mungkin telah menyelamatkan mereka, tetapi juga membawa lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Siapa sebenarnya orang-orang yang mengejar mereka? Dan apa sebenarnya rahasia di balik Astana Langit?
Laila memandang jauh ke arah Gunung Merapi, di mana rahasia lain mungkin masih tersembunyi. Ancaman belum berakhir, tetapi tekad Laila semakin kuat. Ia tahu bahwa ini bukan hanya tentang petualangan, tetapi tentang kebenaran yang harus diungkap, apa pun risikonya.
Manusia biasa yang suka membaca, menulis dan berbagi