Laila Akira Episode 8
Laila Akira duduk di depan meja kayu usang di kos-kosannya di Jakal, memandangi bola kristal yang ia bawa pulang dari reruntuhan Astana Langit.
Malam di Jogja terasa berbeda kali ini. Langit dipenuhi awan kelabu, dan bulan pucat tampak hanya sebagai bayangan samar di balik gumpalan tebal. Laila Akira duduk di depan meja kayu usang di kos-kosannya di Jakal, memandangi bola kristal yang ia bawa pulang dari reruntuhan Astana Langit. Cahaya redup dari benda itu tampak seperti hidup, memantulkan sinar yang berputar-putar seolah menyimpan sebuah rahasia yang siap untuk diungkap.
Bima duduk di sofa, wajahnya cemas. "Apa kau yakin benda itu aman di sini?" tanyanya, mengusap tengkuknya yang berkeringat. "Orang-orang itu pasti tidak akan tinggal diam."
"Aku tidak yakin," jawab Laila jujur. "Tapi aku tidak bisa mempercayakannya kepada siapa pun saat ini. Bola kristal ini adalah kunci. Pertanyaannya, kunci untuk apa?"
Bima terdiam, mencoba mencerna situasi. Laila kembali fokus pada buku catatan dan dokumen-dokumen yang ia susun rapi di mejanya. Di antaranya ada foto-foto dari situs Astana Langit, sketsa peta kuno, dan naskah yang ditulis dalam aksara Jawa yang hampir tidak terbaca. Laila mengernyit, berusaha menerjemahkan kata-kata yang mulai memudar itu.
"Ketika bintang bertemu dengan tanah, rahasia besar akan terungkap."
Pagi berikutnya, Laila dan Bima mengunjungi seorang pakar epigrafi bernama Prof. Wening di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada. Ruangan Prof. Wening dipenuhi buku-buku tua, globe kuno, dan replika prasasti yang tersusun rapi di rak.
"Ah, Laila Akira," sapa Prof. Wening dengan senyum ramah. "Apa yang bisa saya bantu hari ini?"
Laila menyerahkan salinan naskah dari Astana Langit. "Profesor, kami butuh bantuan untuk menerjemahkan ini. Sepertinya ini ada hubungannya dengan bola kristal yang kami temukan."
Prof. Wening mengenakan kacamatanya dan memeriksa naskah itu dengan seksama. Ia menggumam, matanya menyipit saat membaca aksara tua tersebut.
"Ini adalah bagian dari naskah kuno yang dikenal sebagai Serat Bintang Langit," katanya akhirnya. "Serat ini menceritakan tentang sebuah ritual kuno untuk memanggil kekuatan bintang. Benda seperti bola kristal yang kau miliki kemungkinan digunakan dalam ritual itu."
"Ritual apa?" tanya Bima penasaran.
Prof. Wening menghela napas panjang. "Ritual ini dipercaya dapat membuka portal ke dimensi lain, tempat rahasia terbesar dunia disimpan. Tapi, tentu saja, itu hanya mitos."
Laila dan Bima saling bertukar pandang. "Mitos atau tidak, seseorang sangat menginginkan bola kristal ini Prof," kata Laila. "Dan mereka tidak segan-segan membunuh untuk mendapatkannya."
Setelah keluar dari kampus, Laila dan Bima memutuskan untuk makan siang di kawasan Malioboro. Keramaian jalan itu seolah menjadi kontras dari ketegangan yang mereka rasakan. Namun, saat mereka duduk di sebuah warung makan sederhana, Laila merasakan sesuatu yang aneh. Ia merasa diawasi.
"Mas Bima," bisik Laila, "Awakmu delok lanang sing lingguh nang pojokan kono ra, sing nganggo jaket ireng (kau lihat pria di pojok sana, yang memakai jaket kulit hitam)?"
Bima mengangguk samar. "Ho oh, dek e wis nangkene awit dewe mlebu kene (Dia sudah di sini sejak kita masuk)."
Laila mencoba tetap tenang. Ia mengambil ponselnya dan berpura-pura mengetik pesan, tetapi sebenarnya ia memotret pria itu. Dalam gambar, terlihat jelas pria itu berbicara melalui perangkat komunikasi kecil di telinganya.
"dek e ora dewekan mas (Dia tidak sendiri," kata Laila). "Awake dewe kudu lunga saiki kyne (Kita harus pergi sekarang)."
Mereka meninggalkan warung dengan cepat, berjalan ke arah parkiran motor. Namun, sebelum mereka sampai, pria dengan jaket kulit itu muncul di hadapan mereka, diikuti dua orang lain yang tampak serupa.
"Nona Akira," pria itu berkata dengan nada dingin. "Benda itu milik kami. Serahkan bola kristal sekarang, atau..."
"Atau apa?" potong Laila, matanya tajam.
Pria itu tersenyum sinis. "Atau kami akan mengambilnya dengan paksa."
Seketika, Laila menjatuhkan tasnya ke lantai dan menendangnya ke arah pria itu, membuatnya kehilangan keseimbangan. Ia dan Bima langsung berlari ke arah kerumunan. Malioboro yang ramai menjadi tempat sempurna untuk bersembunyi, tetapi juga menjadi medan yang sulit untuk melarikan diri.
"Renee (Ke arah sini)!" Bima menarik Laila menuju gang kecil di belakang toko batik. Mereka berlari sekuat tenaga, mendengar langkah kaki para pengejar di belakang mereka.
Mereka akhirnya menemukan tempat persembunyian di sebuah gudang tua. Napas mereka terengah-engah, dan Laila memegang erat bola kristal di dalam tasnya.
"Mereka tidak akan berhenti," kata Bima. "Kita harus mencari cara untuk mengakhiri ini."
"Aku tahu," jawab Laila. "Dan aku rasa aku tahu siapa yang bisa membantu."
Malam itu, Laila dan Bima bertemu dengan seseorang yang mereka kenal dari masa lalu, seorang mantan intelijen bernama Aryo. Pria itu memiliki reputasi sebagai pemecah masalah yang tidak konvensional.
"Laila, Bima, lama tidak bertemu," sapa Aryo dengan nada tenang. "Jadi, apa yang bisa aku lakukan untuk kalian?"
Laila menceritakan semuanya, dari penemuan di Astana Langit hingga pengejaran di Malioboro. Aryo mendengarkan dengan seksama, matanya menyipit saat mendengar tentang bola kristal.
"Aku pernah mendengar tentang benda ini," kata Aryo akhirnya. "Organisasi yang mengejar kalian disebut Langit Merah. Mereka adalah kelompok bayangan yang percaya pada mitos kuno dan akan melakukan apa saja untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan."
"Lalu, bagaimana kita menghentikan mereka?" tanya Bima.
Aryo tersenyum tipis. "Kita tidak hanya akan menghentikan mereka. Kita akan membuat mereka keluar dari persembunyian, dan untuk itu, kita butuh umpan."
Laila mengangkat alis. "Umpan apa?"
Aryo menatap bola kristal di tangan Laila. "Benda itu. Kita akan menggunakan bola kristal untuk memancing mereka, tapi dengan cara kita sendiri."
Laila, Bima, dan Aryo mulai merencanakan strategi mereka. Bola kristal kini menjadi pusat permainan yang berbahaya, dan Laila tahu bahwa langkah berikutnya akan menentukan segalanya. Rahasia bintang semakin mendalam, dan musuh mereka semakin dekat.
Manusia biasa yang suka membaca, menulis dan berbagi