Angin malam di Jogja berhembus dingin, menyapu dedaunan yang jatuh di jalanan sempit tempat Laila Akira berdiri. Bola kristal yang menjadi inti dari semua peristiwa ini kini tergenggam erat di tangannya. Di belakangnya, Bima dan Aryo berdiri siaga, mata mereka tajam mengawasi setiap sudut. Di depan mereka, bangunan tua yang dulunya sebuah gudang pabrik berdiri dengan aura angker, diterangi hanya oleh bulan yang bersinar samar.
"Kita yakin ini tempatnya?" bisik Bima, matanya menyipit ke arah pintu besar yang tampak rapuh.
Aryo mengangguk. "Menurut sumberku, inilah markas terakhir Langit Merah. Kalau mereka ingin ritual itu berhasil, mereka harus melakukannya di sini."
Laila menarik napas dalam-dalam. Ia tahu, malam ini akan menjadi penentu segalanya.
Mereka memasuki gudang dengan hati-hati. Laila berjalan paling depan, bola kristal yang bersinar redup menjadi satu-satunya penerangan di tengah gelapnya ruangan. Aroma debu dan logam memenuhi udara, memberikan sensasi tidak nyaman yang membuat bulu kuduk meremang.
"Lihat ini," bisik Aryo, menunjuk ke lantai. Ada jejak sepatu yang tampak baru di atas debu tebal. "Mereka sudah di sini."
Laila mengikuti jejak itu, membawa mereka ke sebuah ruangan besar di tengah gudang. Di sana, mereka menemukan simbol-simbol misterius yang terlukis di lantai dengan cat merah. Di tengah simbol itu terdapat sebuah altar batu, dan di atasnya, sebuah dokumen kuno yang sudah berusia ratusan tahun.
"Serat Bintang Langit," gumam Laila. Ia mengingat kata-kata Prof. Wening tentang dokumen ini. "Ini inti dari semua ritual mereka."
Sebelum mereka bisa mendekati altar, suara langkah kaki bergema di seluruh ruangan. Dari kegelapan, muncul beberapa orang dengan wajah tertutup topeng merah. Di antara mereka, seorang pria tinggi dengan mantel hitam berdiri paling depan.
"Nona Akira," sapa pria itu dengan suara berat. "Terima kasih telah membawa bola kristal itu kepada kami."
Laila menegakkan tubuhnya. "Apa yang sebenarnya kalian cari? Rahasia bintang, atau kekuatan untuk menghancurkan dunia?"
Pria itu tertawa kecil. "Kau terlalu sederhana memandangnya. Dunia ini penuh korupsi, penuh kebohongan. Dengan kekuatan ini, kami akan membersihkan segalanya. Dan kau tidak bisa menghentikan kami."
Tanpa peringatan, pria itu mengangkat tangannya, memberi isyarat kepada anak buahnya. Mereka maju dengan senjata di tangan, namun Aryo dan Bima sudah bersiap. Suara tembakan dan denting logam memenuhi udara, menciptakan kekacauan di ruangan itu.
Laila, sementara itu, berlari menuju altar, mencoba memahami tulisan di Serat Bintang Langit. Di balik simbol-simbol dan aksara kuno itu, ia melihat petunjuk untuk menghentikan ritual: hancurkan bola kristal sebelum bulan mencapai puncaknya.
"Aryo! Bima! Aku butuh waktu!" teriak Laila sambil terus membaca.
Bima melawan dua orang sekaligus, menggunakan tiang kayu sebagai senjata. Aryo, dengan ketenangan khasnya, melumpuhkan musuh satu per satu. Namun, jumlah mereka kalah jauh. Para anggota Langit Merah terus berdatangan, seperti gelombang yang tak ada habisnya.
Laila akhirnya menemukan sebuah mantra yang harus diucapkan untuk menghancurkan bola kristal. Tapi saat ia hendak melafalkannya, pria dengan mantel hitam muncul di depannya, merenggut bola itu dari tangannya.
"Kau pikir kau bisa menghentikan kami?" katanya dengan nada mengejek. Ia mengangkat bola kristal ke udara, dan sinar terang keluar dari dalamnya, menerangi seluruh ruangan.
"Tidak secepat itu," balas Laila.
Dalam gerakan cepat, ia meraih pisau kecil dari sakunya dan melemparkannya ke tangan pria itu. Bola kristal terjatuh, berguling ke lantai, dan Laila langsung melompat untuk mengambilnya.
"Bima! Aryo! Tutupi aku!"
Dengan bola kristal di tangannya, Laila mulai melafalkan mantra dari Serat Bintang Langit. Suaranya tegas meski ada rasa takut yang menyelinap di hatinya. Cahaya dari bola kristal semakin terang, menyilaukan semua orang di ruangan itu.
"Tidak!" teriak pria dengan mantel hitam, mencoba menghentikannya. Namun, Aryo berhasil menahannya di tempat, sementara Bima menjaga agar anggota lainnya tidak mendekat.
Saat Laila menyelesaikan mantra, bola kristal itu pecah menjadi ribuan pecahan kecil, menghilang seperti debu di udara. Simbol-simbol di lantai memudar, dan ruangan menjadi sunyi.
"Kita berhasil," kata Bima dengan napas terengah-engah.
Pria dengan mantel hitam berlutut di lantai, menatap kosong ke tempat bola kristal itu sebelumnya. "Kau tidak tahu apa yang telah kau lakukan," katanya dengan suara parau. "Rahasia itu... akan hilang selamanya."
Laila menatapnya tajam. "Beberapa rahasia memang seharusnya tetap tersembunyi."
Mereka meninggalkan gudang saat fajar menyingsing, membawa serta dokumen kuno yang selamat dari kehancuran. Polisi datang beberapa saat kemudian, menahan sisa anggota Langit Merah yang tidak sempat melarikan diri.
Di kos-kosannya kecilnya, Laila duduk di depan jendela, memandangi matahari yang mulai terbit. Bima dan Aryo tertidur di sofa, kelelahan setelah malam panjang yang penuh aksi.
Laila membuka buku catatannya dan menuliskan kesimpulan dari petualangan ini:
"Beberapa kebenaran terlalu berbahaya untuk diungkapkan. Namun, aku tahu, ini bukan akhir. Setiap rahasia memiliki bayangannya sendiri, dan bayangan itu akan terus membayangi mereka yang mencarinya."Dengan senyum tipis, ia menutup buku itu. Episode ini mungkin telah berakhir, tapi Laila tahu, petualangan berikutnya hanya tinggal menunggu waktu.
Bersambung ke Sekuel 2 Laila Akira: Paris Van Java