Light Articles. Read Now!

Table of Content

Renjana - Cerpen Masdoly 2025

Renjana ini bukanlah api yang padam, bukan pula hujan yang menghapus jejak. Kau hidup dalam setiap senja, _dalam setiap helai angin yg menyebut namamu
Renjana

Bab 1: Di Balik Lembayung Senja

Langit sore di kota kecil ini selalu memerah seperti luka yang tak pernah sembuh. Angin lembut menerpa wajah seorang gadis bernama Aruna. Usianya delapan belas tahun, tapi tatapannya menyimpan berat dunia seakan ia telah melewati kehidupan dua kali lipat lebih lama. Ia berdiri di tepi jembatan tua yang membentang di atas sungai Cindaga, tempat favoritnya untuk melarikan diri dari gemuruh dunia. Rambut hitam panjangnya berkilauan dalam cahaya keemasan senja, sementara tangannya memegang sebuah buku catatan kulit yang mulai lusuh.

Di dalam buku itu, setiap halaman penuh dengan puisi dan sketsa kehidupan yang ia amati dari kejauhan. Aruna bukan tipe orang yang banyak bicara; ia lebih sering membiarkan pikirannya mengalir melalui pena. Namun, hari itu berbeda. Ia sedang menunggu seseorang—Reza, seorang pemuda yang baru pindah ke kota mereka dua bulan lalu.

Reza, dengan kulit sawo matang dan senyuman yang selalu membuat Aruna merasa hangat, adalah kebalikan dirinya. Ia ceria, penuh energi, dan berbicara seolah setiap kata adalah petualangan. Ketika mereka bertemu untuk pertama kalinya di perpustakaan sekolah, Reza sedang meminjam buku puisi favorit Aruna, "Leaves of Grass" karya Walt Whitman. Dari sanalah percakapan mereka dimulai. Kini, dua bulan kemudian, pertemuan di jembatan ini sudah menjadi rutinitas yang tak tertulis.

“Aruna,” suara Reza memecah lamunan. Ia muncul dengan jaket denim yang sedikit terlalu besar, membawa sekotak kecil berisi macaroon dari toko kue di ujung jalan. “Hari ini rasanya kau lebih diam dari biasanya. Apa yang sedang kau pikirkan?”

Aruna tersenyum tipis. “Hanya memikirkan apa yang akan terjadi jika suatu hari kita tidak bisa bertemu di sini lagi.”

Reza tertawa kecil, meski nada khawatir menyusup di baliknya. “Kenapa harus memikirkan hal seperti itu? Kita punya hari ini, bukankah itu cukup?”

Namun, jauh di dalam hati Aruna, ia tahu ada sesuatu yang tidak bisa ia katakan. Sebuah rahasia yang semakin hari semakin membebaninya.


Bab 2: Rahasia di Balik Langit Mendung

Aruna tinggal bersama ibunya di sebuah rumah kecil dengan taman yang dipenuhi bunga melati. Ayahnya telah lama meninggal dalam kecelakaan kapal saat Aruna masih kecil, dan sejak itu hidup mereka dipenuhi kesunyian yang nyaris suci. Ibunya, seorang perawat di rumah sakit kota, sering bekerja hingga larut malam, meninggalkan Aruna sendirian dengan pikirannya.

Hari itu, setelah pertemuan mereka di jembatan, Aruna kembali ke kamarnya dan membuka sebuah amplop cokelat yang tersembunyi di bawah bantalnya. Di dalamnya, ada hasil diagnosis dari rumah sakit. Leukemia stadium akhir. Dokter mengatakan bahwa waktu yang tersisa untuknya mungkin hanya beberapa bulan.

Air mata mengalir di pipinya saat ia membaca kata-kata itu untuk kesekian kalinya. Bukan karena ia takut mati, tetapi karena ia tahu Reza akan hancur jika mengetahuinya. Ia ingin melindunginya dari rasa sakit itu, tapi semakin hari semakin sulit untuk berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja.


Bab 3: Cinta dalam Tiap Detik

Minggu berikutnya, Reza mengajak Aruna ke sebuah bukit di luar kota. Di sana, hamparan ilalang dan bunga liar menari dalam angin, seolah dunia ini tak mengenal kesedihan. Mereka duduk berdua di atas selimut, menikmati piknik sederhana yang telah disiapkan Reza.

“Aku punya kejutan untukmu,” kata Reza sambil mengeluarkan gitar dari belakang punggungnya. Ia mulai memainkan sebuah lagu yang ia ciptakan sendiri, dengan lirik yang menggambarkan keindahan senyuman Aruna dan bagaimana ia membawa warna dalam hidupnya.

Aruna tersenyum, tapi hatinya perih. Ia ingin memberitahunya segalanya, tetapi setiap kali ia mencoba, kata-kata itu terhenti di tenggorokannya. Sebaliknya, ia hanya berkata, “Terima kasih, Reza. Kau selalu tahu bagaimana membuatku merasa istimewa.”

Reza mengangguk sambil tersenyum. “Itu karena kau memang istimewa, Aruna. Aku ingin kita selalu seperti ini.”

Namun, takdir punya rencana lain.


Bab 4: Langit yang Jatuh

Bulan berikutnya, kondisi Aruna semakin memburuk. Ia mulai kehilangan berat badan, dan wajahnya yang dulu cerah kini tampak pucat. Ia mencoba menghindari Reza dengan alasan sibuk atau lelah, tetapi Reza tetap bersikeras ingin bertemu. Pada akhirnya, Aruna menyerah.

Mereka bertemu di jembatan, tempat pertama mereka berbagi mimpi. Tapi kali ini, Aruna membawa amplop cokelat itu bersamanya. Ia menyerahkannya kepada Reza tanpa sepatah kata pun.

Reza membuka amplop itu, dan ketika ia membaca isinya, wajahnya berubah. Mata yang biasanya penuh keceriaan itu kini dipenuhi air mata. “Aruna… kenapa kau tidak memberitahuku lebih awal?”

“Karena aku tidak ingin kau melihatku seperti ini,” jawab Aruna, suaranya nyaris berbisik. “Aku ingin kau mengenangku sebagai seseorang yang utuh, bukan… bayangan diriku yang sekarat.”

Reza memeluknya erat, seolah ia bisa menahan waktu dengan kekuatan pelukan itu. Tapi kenyataan tak peduli pada air mata atau doa. Hari-hari berikutnya, Reza selalu ada di sisi Aruna, menemani setiap langkahnya, bahkan ketika tubuhnya semakin lemah.


Bab 5: Renjana yang Abadi

Pada suatu pagi yang dingin, ketika matahari baru saja terbit, Aruna menghembuskan napas terakhirnya di kamar tidurnya. Reza ada di sana, memegang tangannya. Ia menulis sesuatu di buku catatan Aruna sebelum menutupnya dengan lembut.

Beberapa minggu setelah pemakaman, Reza kembali ke jembatan tempat mereka biasa bertemu. Ia membawa buku catatan Aruna, yang kini penuh dengan puisi dan catatan akhir mereka. Di halaman terakhir, ada sebuah puisi yang ditulis Reza:

"Renjana ini bukanlah api yang padam, bukan pula hujan yang menghapus jejak. Kau hidup dalam setiap senja, _dalam setiap helai angin yang menyebut namamu."

Reza menatap sungai yang mengalir tenang, membiarkan air matanya jatuh tanpa perlawanan. Aruna mungkin telah pergi, tetapi cinta yang mereka bagi akan tetap hidup—abadi dalam kenangan, seperti senja yang selalu datang, meski hari berganti.

Manusia biasa yang suka membaca, menulis dan berbagi

Posting Komentar