Light Articles. Read Now!

Table of Content

Simpang Tiga Kota Tua - Episode 1 Jalan Menuju Kegelapan

Simpang Tiga Kota Tua- Danu merasa bahwa wajahnya menyimpan kesedihan, atau mungkin ketakutan, yang tak dapat dijelaskan.
simpang tiga kota tua

Bab 1: Jalan Menuju Kegelapan

Pagi itu, awan gelap menggantung di langit Kota Tua, sebuah daerah yang terletak di pinggir kota besar. Daerah itu dikenal dengan sebutan “Simpang Tiga”, sebuah persimpangan yang menghubungkan tiga jalan utama yang sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Namun, bagi sebagian orang, tempat ini lebih dikenal sebagai sarang misteri dan kejadian-kejadian aneh yang tak dapat dijelaskan. Tak ada yang tahu pasti apa yang terjadi di sana. Beberapa orang bahkan mengatakan bahwa tempat ini merupakan pintu gerbang menuju kegelapan yang tak terjamah.

simpang tiga kota tua
Danu Pratama

Sebuah mobil tua berhenti tepat di persimpangan itu. Pintu mobil terbuka dan seorang pria muda melangkah keluar, mengenakan jas hitam yang sudah sedikit kusut, dengan mata tajam yang memancarkan keingintahuan. Namanya Danu Pratama, seorang detektif swasta yang terkenal dengan kecerdasannya dalam memecahkan berbagai kasus pelik. Meskipun ia dikenal sebagai orang yang rasional dan skeptis terhadap hal-hal mistis, ada satu hal yang membuatnya tertarik pada Simpang Tiga yaitu suara-suara aneh yang telah mengganggu tiduran warga sekitar sejak beberapa minggu terakhir.

Danu menatap ke sekeliling dengan penuh waspada. Bangunan-bangunan tua yang terbuat dari batu bata merah berdiri dengan angkuh, namun terlihat rapuh, seolah menanggung beban sejarah yang tak ingin terungkap. Di ujung jalan, sebuah kedai kopi tua tampak sepi, kecuali seorang wanita yang duduk di pojok dekat jendela, menatap kosong ke luar.

simpang tiga kota tua
Clara Putri

Wanita itu bernama Clara Putri, seorang penulis buku misteri yang baru saja kembali ke kampung halamannya setelah bertahun-tahun tinggal di luar negeri. Clara memiliki rambut hitam panjang yang tergerai, mengenakan jaket kulit coklat yang tampak kontras dengan wajahnya yang pucat. Ia selalu mengamati lingkungan sekitarnya dengan tatapan tajam, seolah-olah mencari sesuatu yang tersembunyi. Baginya, kota ini menyimpan banyak rahasia yang belum terpecahkan, dan ia merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan Simpang Tiga.

simpang tiga kota tua
Laksamana Jati

Di samping Clara, duduk seorang pria paruh baya yang mengenakan kacamata bulat besar. Pria itu adalah Laksamana Jati, seorang pria pensiunan yang dikenal oleh warga sekitar sebagai penjaga sejarah. Ia selalu berkeliaran di sekitar kota tua, bercerita tentang kejadian-kejadian misterius yang ia alami pada masa muda. Namun, tidak banyak yang tahu tentang kehidupan pribadinya. Jati sering kali menatap jalan dengan pandangan kosong, seolah sedang mengingat sesuatu yang sudah lama terlupakan.

simpang tiga kota tua
Nadia Rizki

Tidak jauh dari sana, di sebuah sudut yang tersembunyi, seorang wanita muda bernama Nadia Rizki tengah berjalan dengan langkah hati-hati. Nadia adalah seorang mahasiswa sejarah yang sedang meneliti asal-usul kota tua ini. Ia memiliki rambut ikal pendek, dengan mata hijau terang yang memancarkan rasa ingin tahu yang besar. Nadia baru beberapa bulan pindah ke daerah ini, namun dia sudah mendengar berbagai cerita aneh tentang tempat itu. Keinginannya untuk mengetahui kebenaran membawanya ke Simpang Tiga, meskipun ia sering merasa ada yang mengawasinya.

Keempat tokoh ini: Danu, Clara, Laksamana, dan Nadia tanpa sengaja, atau mungkin karena takdir, akhirnya akan bertemu di titik yang sama di Simpang Tiga Kota Tua. Masing-masing dengan tujuan yang berbeda, mereka mendekati simpang tersebut, tanpa tahu bahwa mereka akan terjebak dalam misteri yang lebih besar dari yang pernah mereka bayangkan.

Bab 2: Jejak-jejak yang Hilang

Saat Danu melangkah lebih dalam ke dalam persimpangan, langkahnya terhenti begitu melihat Clara yang sedang duduk di kedai kopi. Ada sesuatu yang aneh dengan cara wanita itu menatap ke luar jendela. Danu merasa bahwa wajahnya menyimpan kesedihan, atau mungkin ketakutan, yang tak dapat dijelaskan.

“Apakah Anda Clara Putri?” tanya Danu, mendekat.

Clara menoleh, matanya seperti menilai Danu sebelum akhirnya mengangguk pelan. “Ya, saya Clara. Anda Danu Pratama, detektif swasta yang terkenal itu, bukan?”

Danu tersenyum tipis. “Ternyata saya cukup dikenal. Tapi saya di sini bukan untuk mencari popularitas. Ada sesuatu yang mengganggu warga sekitar. Suara-suara aneh, hilangnya barang-barang, bahkan beberapa orang yang mengaku melihat penampakan di sekitar Simpang Tiga. Saya kira Anda juga punya informasi tentang itu.”

Clara tampak terkejut, namun ia tidak menunjukkan rasa takut. “Kebetulan, saya baru saja menulis tentang kota ini untuk buku baru saya. Banyak yang mengatakan bahwa tempat ini berhantu, dan saya ingin menggali lebih dalam.”

Danu terdiam sejenak, mencoba menganalisa situasi. “Tapi menurut Anda, apakah ini berhubungan dengan hal-hal mistis?”

Clara tersenyum samar, lalu berkata, “Mungkin ada penjelasan rasional, tapi saya rasa ada sesuatu yang lebih dari itu. Sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan akal sehat.”

Saat itu, Laksamana Jati masuk ke kedai, mengenakan topi bulat khas yang sering ia pakai. Wajahnya yang tua dan keriput tampak semakin kusut saat ia melihat Danu dan Clara duduk bersama.

“Hmm... Anda berdua di sini juga?” kata Jati, sambil menatap mereka dengan pandangan tajam.

Clara mengangguk. “Kami sedang membahas hal yang sama, Pak Jati. Tentang suara-suara aneh di sekitar sini.”

Jati mengerutkan kening, lalu duduk di meja mereka. “Ada sesuatu yang harus kalian tahu tentang Simpang Tiga ini,” katanya dengan suara berat, seolah membawa beban berat. “Dulu, sebelum kemerdekaan, di persimpangan ini ada sebuah rumah besar milik seorang bangsawan Belanda. Rumah itu konon dipenuhi dengan rahasia gelap. Banyak orang yang menghilang setelah datang ke sana.”

Danu mendengarkan dengan seksama, sementara Nadia tiba-tiba masuk ke kedai dengan langkah cepat. “Maaf, saya mendengar percakapan ini. Apa yang kalian tahu tentang rumah besar itu?”

Semua orang menoleh, dan Danu melihat mata Nadia yang penuh rasa ingin tahu. “Saya sedang meneliti sejarah kota ini. Saya baru saja menemukan petunjuk yang mengatakan bahwa rumah itu masih ada. Namun, tidak ada catatan resmi yang menyebutkan apa yang terjadi pada rumah itu setelah tahun 1945.”

Laksamana Jati menghembuskan napas berat. “Rumah itu memang ada, dan mungkin masih ada sampai sekarang. Tapi tidak ada yang berani mendekatinya. Orang-orang yang mencoba masuk ke sana sering kali tak kembali. Dan jika mereka kembali, mereka membawa cerita yang lebih aneh daripada yang bisa kalian bayangkan.”

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar di luar kedai, disertai dengan hembusan angin dingin yang membuat suasana semakin mencekam. Ada sesuatu di sekitar mereka—sesuatu yang tersembunyi, yang menunggu untuk ditemukan.

Bab 3: Jejak yang Menuntun pada Kematian

Keempatnya akhirnya memutuskan untuk mencari tahu lebih dalam. Malam itu, mereka berempat berjalan menuju rumah besar yang disebut-sebut oleh Jati. Setiap langkah mereka membawa ketegangan yang semakin besar. Simpang Tiga seolah-olah menjadi lebih gelap, dan setiap sudut jalan dipenuhi dengan rasa waspada. Seiring mereka mendekati rumah besar yang telah lama ditinggalkan, sebuah bau busuk tercium di udara.

Begitu tiba di depan pintu rumah, mereka merasa ada yang aneh. Pintu besar itu terhuyung sedikit, seolah-olah sudah lama tidak pernah dibuka. Laksamana Jati, yang lebih berpengalaman, mengangkat tangannya. “Jangan terlalu terburu-buru. Tempat ini penuh dengan jebakan.”

Namun, saat mereka melangkah lebih jauh, suara-suara aneh mulai terdengar dari dalam rumah. Suara desisan halus yang seperti bisikan, menyusup ke telinga mereka. Di antara suara itu, Danu mendengar sesuatu yang lebih jelas—nama mereka dipanggil satu per satu, dengan suara yang sangat familiar. Tapi siapa yang memanggil mereka?

Saat pintu rumah terbuka lebih lebar, bayangan gelap melintas di balik jendela. Keempatnya berdiri kaku, tidak tahu harus berbuat apa. Apa yang mereka hadapi? Sesuatu yang jauh lebih tua dan lebih jahat daripada yang mereka bayangkan.

Simpang Tiga Kota Tua, tempat yang seharusnya hanya menjadi persimpangan jalan, kini menjadi persimpangan takdir bagi mereka semua....

Bersambung ke episode 2 - Jejak yang Terlupakan

Manusia biasa yang suka membaca, menulis dan berbagi

Posting Komentar