Bab 1: Dendam yang Tertinggal
Setelah malam yang mencekam di depan rumah besar itu, keempatnya kembali ke kedai kopi dengan perasaan yang tidak mudah dijelaskan. Clara, Danu, Laksamana Jati, dan Nadia tampak tertekan, seolah setiap langkah mereka membawa jejak misteri yang semakin dalam. Mereka duduk di meja yang sama, wajah-wajah mereka dipenuhi dengan ketegangan yang tak bisa diabaikan.
Clara, yang biasanya ceria dan penuh semangat, kini tampak murung. Rambut hitam panjangnya tergerai lebih acak-acakan, matanya tampak kabur seakan terjaga dari mimpi buruk. Ia memegangi cangkir kopi yang sudah lama dingin, menatap kosong ke luar jendela. Sekali-sekali, ia mengusap dahinya, berusaha mengusir bayangan-bayangan yang terus mengganggunya.
Clara Putri, penulis misteri yang terkenal karena kemampuannya menggali cerita gelap, kini seolah terperangkap dalam cerita yang lebih besar daripada yang pernah ia tulis. Sebagai seorang wanita dengan kecerdasan tajam, ia tidak begitu mudah mempercayai hal-hal yang bersifat mistis. Namun, malam itu, pengalaman yang mereka alami di depan rumah tua itu seolah mengubur rasa skeptisnya. Sesuatu yang tidak bisa dijelaskan oleh akal sehat terjadi di sana, sesuatu yang menunggu untuk diungkap.
“Apakah kalian merasakannya?” Clara bertanya, suaranya rendah namun penuh ketegangan. “Ada sesuatu yang menunggu di dalam rumah itu. Sesuatu yang lebih gelap daripada yang kita bayangkan.”
Danu Pratama, detektif swasta yang terkenal dengan logikanya yang tajam, menyandarkan tubuhnya ke kursi. Ia tidak terbiasa dengan ketakutan semacam ini, apalagi sesuatu yang bersifat tidak rasional. Danu adalah pria muda berusia 32 tahun, dengan mata hitam yang tajam dan otak yang selalu menganalisis setiap detail. Keahliannya dalam memecahkan kasus membuatnya terkenal, namun malam ini, ia merasa terpojok dalam misteri yang lebih besar.
“Jadi, kita akan kembali ke sana?” tanya Danu dengan suara yang terdengar ragu, meskipun hatinya bergemuruh dengan rasa penasaran yang mendalam. “Apa yang kalian lihat di sana, Clara? Apakah ada sesuatu yang kita lewatkan?”
Clara menarik napas panjang. “Saya tidak tahu. Tapi saya bisa merasakannya, Danu. Ada sesuatu yang ada di balik semua ini. Suara-suara yang terdengar di sekitar Simpang Tiga, hilangnya barang-barang, dan bahkan kisah-kisah tentang orang-orang yang menghilang... semuanya mengarah ke rumah itu.”
Laksamana Jati yang sejak tadi diam, akhirnya membuka mulut. Laksamana Jati, seorang pria tua berusia sekitar 60-an tahun, dikenal sebagai penjaga sejarah kota ini. Meskipun pensiunan, ia selalu memegang teguh pengetahuan tentang kota dan kejadian-kejadian yang terjadi di masa lalu. Wajahnya yang keriput, dengan janggut putih tipis dan mata tajam, selalu tampak mengawasi setiap langkah yang diambil oleh orang di sekitarnya. Jati tidak hanya seorang saksi sejarah, tetapi juga seseorang yang tampaknya tahu lebih banyak tentang rahasia kota ini daripada yang ia ungkapkan.
“Tidak ada yang pernah pulang dengan utuh setelah masuk ke sana, Clara,” kata Jati, suaranya bergetar, penuh ketegangan. “Rumah itu bukan hanya tempat tinggal. Itu adalah perwujudan dari sesuatu yang lebih jahat. Entah itu kutukan, atau mungkin sesuatu yang lebih buruk.”
Tiba-tiba, Nadia, yang sebelumnya hanya mendengarkan, menyela. Nadia Rizki, seorang mahasiswa sejarah berusia 22 tahun, baru beberapa bulan pindah ke kota ini untuk melanjutkan studinya. Dengan rambut ikal hitam yang selalu tergerai rapi dan mata hijau yang penuh rasa ingin tahu, Nadia adalah wanita muda yang penuh semangat dan tekad. Namun, ketakutannya semakin jelas terlihat setelah malam itu.
“Apa yang kalian maksud dengan ‘lebih buruk’?” Nadia bertanya, suaranya sedikit gemetar. “Apa yang terjadi pada orang-orang yang menghilang? Kenapa tidak ada satu pun catatan resmi tentang itu?”
Jati terdiam sejenak, menatap ke luar jendela kedai dengan tatapan kosong, seolah mengingat sesuatu yang terlupakan. Kemudian, dengan suara berat, ia berkata, “Orang-orang yang menghilang di sana... mereka tidak benar-benar hilang. Mereka terperangkap. Terperangkap dalam waktu. Beberapa dari mereka kembali, tapi tidak seperti yang kita kenal. Mereka berubah, seolah ada bagian dari jiwa mereka yang hilang, atau lebih tepatnya, tercuri.”
Clara menggigit bibirnya, tampak cemas. “Tapi kenapa sekarang? Mengapa suara-suara itu baru terdengar belakangan ini? Apa yang membangkitkan semua ini?”
Nadia menunduk, kemudian mengangkat kepalanya. “Ada kemungkinan bahwa semua ini terkait dengan sejarah lama kota ini, bukan? Mungkin ada sesuatu yang terpendam dan baru saja terbangun.”
Danu memijat pelipisnya. “Mungkin kita terlalu banyak bertanya tanpa cukup bukti. Kita harus mencari tahu siapa yang bisa memberi kita petunjuk lebih lanjut. Jika rumah itu benar-benar terkutuk, mungkin ada yang tahu apa yang terjadi di sana, siapa yang tinggal di sana, atau..........????”
Namun, sebelum Danu melanjutkan kata-katanya, suara langkah kaki terdengar dari luar kedai. Keempatnya menoleh hampir bersamaan, dan sebuah bayangan besar tampak berdiri di pintu. Seorang pria tinggi besar, mengenakan mantel hitam yang panjang, dengan topi lebar yang menutupi sebagian wajahnya, melangkah masuk ke kedai.
Reynaldo |
Pria itu memandang mereka satu per satu dengan tatapan yang sulit diartikan. Tidak ada suara, hanya tatapan tajam yang menggetarkan. Setelah beberapa detik, ia membuka mulut, suaranya berat dan dalam, seolah berasal dari tempat yang jauh.
“Apa yang kalian cari di Simpang Tiga?” tanyanya dengan nada yang menakutkan.
Bab 2: Keberanian yang Teruji
Pria itu duduk di meja mereka tanpa diundang. Clara, Danu, Laksamana, dan Nadia saling berpandangan. Mereka tidak tahu siapa pria ini, namun ketegangan di udara semakin tebal. Orang asing ini jelas bukan hanya sekadar pengunjung biasa.
“Siapa Anda?” tanya Danu, tetap berusaha tenang meski ketegangan meluap di dalam dada.
Pria itu melepas topinya dan menatap mereka dengan mata kelabu yang tajam. Wajahnya tampak penuh dengan kerutan dan bekas luka, seperti seseorang yang sudah banyak mengalami cobaan hidup. Di atas meja, pria itu meletakkan sebuah buku tua yang tampak sangat usang. “Nama saya Reynaldo,” katanya pelan, “dan saya tahu apa yang kalian cari.”
Laksamana Jati menatap pria itu dengan cermat. “Reynaldo… dari mana Anda tahu tentang Simpang Tiga? Apa yang Anda ketahui tentang rumah besar di ujung jalan itu?”
Reynaldo tersenyum samar. “Saya tidak hanya tahu tentang rumah itu. Saya tahu apa yang terjadi pada mereka yang masuk ke sana.” Ia membuka buku tua itu dan menyodorkannya ke arah mereka. “Ini adalah catatan yang tidak pernah ditemukan oleh siapapun. Catatan yang ditulis oleh orang-orang yang hilang. Buku ini berisi kisah-kisah mereka, dan kisah saya sendiri.”
Clara memandang buku itu dengan cemas. “Apa ini? Buku tentang kutukan?”
Reynaldo mengangguk perlahan. “Bukan hanya kutukan. Ini adalah perjanjian yang dibuat oleh para leluhur kota ini. Perjanjian yang melibatkan darah dan jiwa. Mereka yang berani mengungkapnya akan terjebak dalam lingkaran yang tidak dapat diputuskan.”
Danu menatap tajam. “Apa maksud Anda dengan lingkaran itu?”
Reynaldo menarik napas dalam-dalam, seolah merasakan beban yang terlalu berat untuk dijelaskan. “Setiap orang yang mencoba keluar dari Simpang Tiga tanpa menyelesaikan takdir mereka akan kembali ke tempat itu, lebih cepat dari yang mereka kira. Mereka terjebak di dunia yang berbeda, terperangkap antara kehidupan dan kematian. Dan begitu Anda masuk... tidak ada jalan keluar.”
Malam itu, di kedai kopi yang gelap dan sunyi, mereka merasa seperti terperangkap dalam sebuah perangkap tak terlihat. Keempatnya tahu bahwa mereka sudah berada di ambang kebenaran yang sangat menakutkan. Reynaldo, pria misterius yang muncul begitu tiba-tiba menjadi kunci untuk membuka rahasia Simpang Tiga, namun apakah mereka siap menghadapi kenyataan yang ada di baliknya?
Danu, Clara, Laksamana, dan Nadia tahu satu hal pasti: petualangan mereka baru saja dimulai. Dan tidak ada yang tahu apa yang akan mereka temui selanjutnya di dalam kegelapan yang menunggu di Simpang Tiga Kota Tua.
Bersambung ke Episode 3: Jejak Yang Tak Terlihat