Bab 1: Jejak Keberanian
Pagi yang murung menyelimuti Simpang Tiga Kota Tua. Udara lembap dan dingin menggantung di antara jalan-jalan sempit yang dikelilingi bangunan tua, sebagian besar telah terkikis oleh waktu. Keempatnya, Danu Pratama, Clara Putri, Laksamana Jati, dan Nadia Rizki berdiri di depan kedai kopi, memandang ke arah rumah besar yang mereka tuju. Rumah itu, yang tersembunyi di ujung jalan, tampak lebih menyeramkan saat dilihat dari dekat. Dindingnya yang retak-retak, jendela-jendela yang pecah, serta pintu yang hampir roboh semua itu memberi kesan bahwa rumah itu sudah lama ditinggalkan. Namun, kediaman ini menyimpan lebih banyak rahasia daripada yang bisa mereka bayangkan.
Clara memegang buku tua yang diberikan oleh Reynaldo, pria misterius yang muncul malam sebelumnya. Wajahnya tampak lebih serius daripada biasanya. Clara adalah penulis misteri berusia 28 tahun dengan rambut hitam panjang yang kadang tergerai berantakan, menggambarkan sifatnya yang cenderung eksentrik. Dia memiliki cara berpikir yang tajam, dan meskipun banyak yang menganggapnya terlalu skeptis, malam itu jelas mengubah banyak pandangan Clara tentang dunia. Buku yang ia genggam kini menjadi petunjuk, namun juga beban—sebuah petunjuk yang datang dengan harga yang sangat tinggi.
Di sisi lain, Danu Pratama, detektif swasta berusia 32 tahun, tampak memandang dengan mata tajam dan penuh analisis. Pria bertubuh tegap ini selalu mengedepankan logika dalam setiap kasus yang ia tangani. Namun, semenjak ia terlibat dalam penyelidikan ini, ia merasa perasaannya semakin terombang-ambing antara rasionalitas dan ketakutan yang tak terjelaskan. Rambut hitamnya yang sedikit acak-acakan, serta penampilannya yang cenderung sederhana dengan jas hitam, menjadikannya sosok yang sulit ditebak—serta penuh tekad. Namun, kali ini ia merasa ada yang salah. Sesuatu yang tak bisa ia temukan dalam catatan kepolisian atau bukti-bukti fisik.
Laksamana Jati, pria tua berusia sekitar 65 tahun dengan rambut putih dan janggut yang semakin memutih, tampak lebih tenang dari yang lainnya. Wajahnya yang penuh keriput dan matanya yang selalu memandang dengan keseriusan seperti menyimpan banyak rahasia. Meskipun usianya sudah tidak muda lagi, kehadirannya selalu mengesankan kekuatan dan kebijaksanaan yang lahir dari pengalaman hidup yang panjang. Dia adalah penjaga sejarah kota ini, dan sepertinya sudah tahu lebih banyak dari yang ia perlihatkan. Sejak mereka bertemu, Jati telah mengingatkan mereka tentang bahayanya rumah besar itu, dan kini dia tampak lebih gelisah, meskipun tidak menunjukkannya secara terbuka.
Terakhir, ada Nadia Rizki, mahasiswa sejarah berusia 22 tahun dengan rambut ikal pendek dan mata hijau yang selalu tampak berbinar penuh rasa ingin tahu. Nadia baru beberapa bulan pindah ke Kota Tua ini untuk melanjutkan studinya. Ia sering terlihat tenggelam dalam buku-buku tua, mencari informasi yang bisa membantu menyelesaikan teka-teki sejarah kota yang kerap terabaikan. Namun, hari ini, rasa takut menguasainya. Tidak ada lagi keceriaan seperti sebelumnya, hanya ketakutan yang mulai merayap dalam setiap langkahnya.
Hari itu, mereka melangkah menuju rumah besar itu dengan hati yang berat. Tanpa kata, mereka berjalan berdampingan, seakan perasaan masing-masing saling terhubung dalam diam. Sesampainya di depan rumah, Danu berhenti sejenak, mengamati pintu yang terbuka setengah, serta udara yang semakin dingin. Suasana ini sangat tidak biasa.
"Jangan takut," kata Clara, memecah kesunyian. “Kita sudah sampai sejauh ini. Kita harus menemukan jawabannya.”
Danu menatapnya sejenak, lalu melangkah ke depan, mendorong pintu kayu yang berderit keras. Rumah itu sepi, gelap, dan berbau lembap. Pintu utama langsung mengarah ke ruang tamu yang luas, meskipun sebagian besar perabotan sudah rusak. Lampu-lampu gas yang dulunya menyala kini sudah padam, meninggalkan jejak hitam di langit-langit yang berdebu.
Laksamana Jati menggerakkan tangannya perlahan, memeriksa setiap sudut ruangan. “Ingat, rumah ini tidak hanya tempat tinggal, tetapi juga perangkap. Ada yang menjaga tempat ini, atau mungkin... lebih dari satu.”
Mereka berlima melangkah hati-hati, memeriksa ruang demi ruang. Saat mereka melewati ruang tengah yang besar, mereka mendengar suara berdesir di lantai atas. Clara, yang paling berani di antara mereka, mengangkat alis. "Ada orang di atas?" tanyanya dengan suara yang sedikit gemetar.
"Atau mungkin suara benda jatuh," jawab Danu, mencoba tetap rasional. Tetapi wajahnya mengeras, merasa ada yang tidak beres.
Langkah kaki mereka semakin mendekat ke tangga besar yang mengarah ke lantai dua. Pijakan-pijakan kayu berderak di bawah kaki mereka, seolah memberikan tanda bahwa mereka sedang digiring menuju sesuatu yang tidak bisa mereka hindari. Tanpa berkata sepatah kata pun, mereka naik satu per satu.
Di atas, udara terasa lebih berat, dan suasananya semakin mencekam. Tiba-tiba, Nadia berhenti, matanya yang hijau memandang sebuah lukisan besar yang tergantung di dinding. Itu adalah lukisan seorang wanita tua, dengan wajah yang sangat dikenal oleh Clara—wanita yang ia lihat dalam mimpi aneh malam itu, dengan mata yang kosong dan ekspresi penuh penderitaan.
“Siapa wanita ini?” tanya Nadia, suaranya gemetar.
“Dia adalah pemilik rumah ini,” jawab Laksamana Jati dengan nada pelan, matanya yang penuh kerisauan menatap lukisan itu. “Namanya Marta van der Berg. Dia adalah seorang bangsawan Belanda yang memiliki rumah ini pada masa penjajahan. Tetapi setelah kemerdekaan, dia hilang begitu saja, dan tidak ada yang tahu apa yang terjadi padanya.”
“Tapi wajahnya…” Clara terdiam sejenak. “Saya melihatnya di dalam mimpi. Kenapa wajahnya begitu familiar?”
Danu memfokuskan pandangannya pada lukisan itu, mencoba menyelidikinya. Ada sesuatu yang aneh dengan mata wanita itu—seperti menyimpan pesan yang tidak bisa dimengerti. “Mungkin ini hanya kebetulan,” katanya, meskipun ia sendiri tidak yakin. “Mari kita teruskan penyelidikan.”
Mereka terus melangkah lebih dalam, menyusuri koridor gelap yang membawa mereka ke sebuah pintu tua di ujung ruangan. Pintu itu sedikit terbuka, dan dari dalam, mereka bisa mendengar suara bisikan pelan, seperti percakapan yang samar. Ketegangan semakin terasa, dan mereka tahu bahwa mereka telah sampai di titik terpenting dari penyelidikan ini.
Dengan hati-hati, Danu membuka pintu itu. Begitu pintu terbuka, pandangannya tertuju pada sebuah ruang yang sangat besar, dengan dinding yang dipenuhi rak-rak buku tua. Di tengah ruangan, ada sebuah meja besar dengan sebuah buku terbuka, dikelilingi oleh simbol-simbol yang aneh dan tidak dapat dijelaskan. Di atas meja itu, ada sebuah kotak kayu kecil yang tampak sangat tua.
“Apa ini?” tanya Nadia, mendekati meja.
Danu mengangguk pelan. “Saya rasa ini yang kita cari.”
Namun, sebelum mereka bisa menyentuhnya, tiba-tiba sebuah suara berat menggelegar terdengar di belakang mereka. Suara itu seperti berasal dari ruang yang sangat jauh, namun sangat nyata, membuat jantung mereka berdegup kencang.
“Jangan buka kotak itu!” suara itu menggetarkan udara.
Keempatnya menoleh bersamaan. Di pintu masuk, berdiri seorang pria bertubuh tinggi besar, dengan wajah yang tersembunyi di balik topi hitamnya. Suaranya begitu dalam dan penuh ancaman. "Kalian terlalu jauh. Kalian tidak tahu apa yang kalian hadapi.”
Laksamana Jati mengerutkan kening. “Siapa Anda?”
Pria itu menurunkan topinya, mengungkapkan wajahnya yang tampak sangat lelah, penuh luka-luka, seolah pernah mengalami penderitaan yang sangat berat. “Saya Reynaldo,” katanya. “Dan kalian baru saja membuka pintu yang tidak seharusnya dibuka.”
Kini mereka tahu apa yang mereka hadapi bukan hanya misteri kota ini, melainkan sesuatu yang jauh lebih gelap dan berbahaya. Reynaldo, yang tampaknya tahu lebih banyak dari yang ia ungkapkan, memperingatkan mereka bahwa mereka telah melangkah terlalu jauh. Namun, apakah mereka akan mundur sekarang, ataukah mereka akan terus mengejar kebenaran yang lebih mengerikan lagi?
Di dalam Simpang Tiga Kota Tua, mereka mulai menyadari bahwa tidak ada jalan keluar yang mudah. Setiap langkah yang mereka ambil semakin mendekatkan mereka pada sebuah kebenaran yang bisa merubah pola pikir mereka.....
Bersambung ke Episode 4: Hantu yang Tak Terlihat