Light Articles. Read Now!

Table of Content

Simpang Tiga Kota Tua - Episode 5: Cermin di Ujung Waktu

Sosok yang lebih tinggi dari manusia biasa, dengan bentuk tubuh yang ramping dan wajah yang terdistorsi, berbaur dengan kabut gelap.

 simpang tiga kota tua

Bab 1: Bayangan yang Mengintai

Ketegangan melanda ruangan yang kini dipenuhi oleh aura mistis dan ketidakpastian. Keempatnya, Clara, Danu, Laksamana, dan Nadia, berdiri dalam diam yang mencekam, seolah menunggu sesuatu yang tak bisa mereka hindari. Bayangan yang bergerak mendekat itu kini hampir sepenuhnya terlihat. Sosok yang lebih tinggi dari manusia biasa, dengan bentuk tubuh yang ramping dan wajah yang terdistorsi, berbaur dengan kabut gelap. Mereka bisa merasakan getaran aneh yang seakan datang dari dalam tanah, menembus dinding, dan menggetarkan setiap tulang mereka. Ada rasa mencekam yang menyelimuti, seperti bahaya besar yang sedang mengintai.

Clara Putri, penulis misteri yang tangguh, kini merasakan kegelisahan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dalam dunia tulisannya, ia sering menjumpai hal-hal tak terduga, namun semua itu terasa jauh lebih nyata saat ini. Rambut hitam panjangnya kini tergerai, wajahnya yang biasanya penuh dengan kecerdasan dan semangat tampak lebih pucat. Namun, ia tak mau mundur. Clara tahu, ia harus tetap menghadapi ketakutannya—ini bukan hanya tentang dirinya, tetapi juga teman-temannya, dan lebih penting lagi—sejarah yang tersembunyi di balik Simpang Tiga Kota Tua.

Danu Pratama, sang detektif, juga merasakan ketegangan yang mencekam. Sebagai seorang pria yang biasa menghadapi kasus dengan logika tajam, kali ini ia merasakan kehadiran sesuatu yang lebih besar dari rasio. Ia berusia 32 tahun, dengan rambut hitam yang agak acak-acakan dan pakaian sederhana khas detektif swasta, namun aura yang dipancarkan oleh sosok yang kini berdiri di depan mereka bukanlah sesuatu yang bisa ia jelaskan. Rasa takut berbaur dengan rasa penasaran yang terus menggelayuti pikiran rasionalnya. Ia tahu bahwa mereka harus menemukan jawaban, tetapi pertanyaannya sekarang—apakah mereka masih bisa bertahan hidup setelah jawaban itu ditemukan?

Laksamana Jati, pria tua yang berusia sekitar 65 tahun, sangat berbeda. Wajah keriputnya dan matanya yang penuh kebijaksanaan berusaha untuk menyembunyikan ketakutannya. Namun, siapa yang bisa menutupi kegelisahan saat menghadapi sesuatu yang lebih tua dari dunia yang dikenal? Laksamana, dengan segala pengetahuan sejarahnya yang luas tentang Kota Tua ini, merasa bahwa mereka kini berada di ujung jurang yang tak bisa mereka hindari. Ketika ia pertama kali memperingatkan mereka, dia tidak hanya berbicara tentang bahaya fisik, tetapi tentang sesuatu yang lebih gelap, lebih tak kasat mata—sebuah kekuatan yang telah berakar sejak masa lalu kota ini. Dalam dirinya yang telah berusia lanjut, Laksamana merasakan bahwa waktu bukan lagi sekadar alat pengukur usia, tetapi sebuah entitas yang bisa menghancurkan segalanya.

Nadia Rizki, mahasiswa sejarah berusia 22 tahun, merasakan tubuhnya yang gemetar di hadapan sosok gelap itu. Dengan rambut ikal pendek dan mata hijau yang biasanya penuh keingintahuan, Nadia merasa terperangkap dalam mimpi buruk yang tak pernah ia bayangkan. Semua pengetahuan sejarah yang ia pelajari seakan sia-sia ketika berhadapan langsung dengan hal-hal tak terjelaskan seperti ini. Ketakutan yang mendalam menguasai dirinya, namun ia tahu bahwa mundur bukanlah pilihan. “Apa yang harus kita lakukan?” pikirnya, namun mulutnya terasa kaku, tak mampu mengucapkan kata-kata.

Bayangan itu, yang kini semakin mendekat, tidak bergerak dengan cara manusia biasa. Gerakannya lembut namun penuh ancaman. Setiap langkahnya seperti membelokkan realitas, dan seiring dengan semakin mendekatnya sosok itu, semakin terasa beratnya udara yang mereka hirup. Cahaya dari dalam rumah itu semakin meredup, seolah langit di luar telah menelan seluruh sinar matahari.

“Apa yang kau inginkan dari kami?” tanya Danu, suaranya berat, berusaha mengendalikan ketakutannya.

Sosok itu berhenti, hanya beberapa langkah lagi dari mereka. Bayangan gelap itu mengangkat tangannya dengan gerakan lambat, dan dari telapak tangannya, muncul sebuah cahaya biru pucat yang bersinar samar di udara. Suara yang dalam dan menggema kembali terdengar, namun kali ini terasa seperti bisikan yang menusuk.

“Kalian telah mengganggu garis waktu,” suara itu bergema. “Kalian telah membuka jalan yang tak seharusnya dibuka. Kebenaran yang kalian cari bukanlah kebenaran yang bisa diterima manusia. Kalian telah menantang takdir yang telah lama tertutup.”

Clara mengangkat tangannya untuk melindungi wajahnya dari cahaya biru yang mulai menyebar. “Kita tidak mencari masalah, kami hanya ingin mengetahui apa yang terjadi dengan kota ini, dengan rumah ini... dengan sejarah yang telah terkubur lama!” ujarnya dengan suara tegas, meski hatinya berdegup kencang.

Bayangan itu menyeringai, namun ekspresi wajahnya tetap kabur dan sulit dipahami. “Kalian mencari jawaban yang bukan milik kalian. Setiap orang yang mencari tahu tentang Simpang Tiga Kota Tua ini... akan membayar harga yang harus dibayar.”

Tiba-tiba, seluruh ruangan menjadi sangat dingin. Seperti udara di luar yang meresap ke dalam tubuh mereka, menciptakan rasa seperti ada tangan dingin yang merayapi setiap inci tubuh mereka. Ada suara gemerisik halus, suara langkah kaki dari balik dinding. Ruangan yang semula tampak sepi kini terasa penuh dengan bayangan-bayangan yang bergerak—bayangan yang tak bisa dilihat, namun bisa dirasakan kehadirannya.

Laksamana Jati, meskipun lebih tua, tetap teguh. “Jangan dengarkan dia,” katanya, dengan suara yang sedikit bergetar, namun tetap berwibawa. “Ini adalah takdir yang kita hadapi, dan kita harus siap dengan konsekuensinya. Kita tahu bahwa tempat ini menyimpan rahasia yang lebih besar dari kita. Kita hanya perlu mencari kunci untuk menghadapinya.”

Tiba-tiba, Nadia Rizki meraih buku tua yang ada di tangannya, buku yang diberikan oleh Reynaldo. Dengan cepat, ia membuka halaman demi halaman, mencari jawaban. Buku itu tampaknya sudah sangat tua, hampir rapuh, dan tulisan-tulisan di dalamnya terlihat kabur, tetapi ada satu kalimat yang menarik perhatian Nadia. Kalimat itu ditulis dengan tinta merah yang pudar, hampir tak terbaca, namun cukup jelas bagi seseorang yang ingin mencari makna lebih dalam.

"Di balik cermin yang terpecah, tak ada waktu yang dapat dihentikan. Di sana, kebenaran takkan pernah bebas."

Nadia membaca kalimat itu dengan suara gemetar, namun entah mengapa, kata-kata itu memberi mereka harapan. Ia merasa bahwa kalimat ini bukan hanya petunjuk, tetapi juga ancaman. Sesuatu yang sangat besar berada di balik kalimat tersebut—sesuatu yang hanya bisa mereka temui jika mereka berani melangkah lebih dalam.

Tiba-tiba, sosok gelap itu tertawa, dan suara tawa itu bergema seperti angin kencang yang berputar-putar di sekeliling mereka. “Kalian telah menemukan bagian dari teka-teki. Tetapi kalian tidak akan pernah tahu kebenarannya sepenuhnya. Cermin itu... hanya milik mereka yang mampu menahan waktu. Dan kalian... kalian bukan bagian dari itu.”

Saat bayangan itu berbicara, Clara, Danu, Laksamana, dan Nadia merasakan tubuh mereka seperti tersedot ke dalam pusaran waktu yang tak terlihat. Keempatnya terdiam, dan dalam keheningan itu, mereka mulai merasakan bahwa segala yang mereka hadapi dari kotak tua, simbol, bahkan rumah itu semua terkait dengan sebuah kebenaran yang lebih gelap daripada yang mereka bayangkan.

Cahaya biru itu semakin terang, dan ketika mereka mencoba bergerak, mereka merasa tubuh mereka bagaikan terhalang oleh kekuatan yang sangat kuat, seperti ditahan oleh tangan tak terlihat. Semua terlihat seolah membeku dalam satu momen waktu yang tak bisa mereka pahami.

Namun, di tengah kegelapan itu, Laksamana Jati berkata dengan suara rendah namun penuh kekuatan, “Ada satu cara untuk menghentikan semua ini. Kita harus pergi ke tempat yang paling gelap, tempat di mana segalanya dimulai. Di balik cermin yang terpecah itu, ada jawabannya.”

Dengan kata-kata itu, mereka tahu apa yang harus dilakukan. Mereka harus mencari cermin yang dimaksud yaitu cermin yang telah lama tersembunyi, cermin yang mungkin menyimpan kunci untuk mengakhiri semua ini. Tetapi pertanyaannya kini, apakah mereka akan dapat menemukannya sebelum semuanya terlambat?

Bersambung ke Episode 6 (tamat): Cermin yang Terpecah

Manusia biasa yang suka membaca, menulis dan berbagi

Posting Komentar