Hujan baru saja reda ketika Reza melangkahkan kaki ke sebuah kafe kecil di sudut Jalan Malioboro. Aroma tanah basah bercampur dengan bau kopi hitam yang baru diseduh menguar di udara. Langit sore mulai meredup, mengubah warna senja ke jingga keunguan yang melankolis. Hatinya berdebar, bukan karena dinginnya udara, tapi karena seseorang yang sedang duduk di pojok kafe dengan buku catatan yang selalu ia bawa ke mana pun.
Namanya Nadira seorang gadis yang pernah berlabuh di pelabuhan hatiku.
Nadira memiliki rambut sebahu, hitam pekat dengan sedikit gelombang di ujungnya. Matanya tajam, seperti seseorang yang menyimpan terlalu banyak rahasia dalam kepalanya. Reza mengenalnya sejak lima tahun lalu, saat mereka masih mahasiswa di Universitas Gadjah Mada. Hubungan mereka selalu terasa seperti tarik ulur, seperti hujan yang turun tak tentu waktu di Jogja.
"Kamu akhirnya datang," kata Nadira tanpa mengangkat kepalanya dari buku catatannya.
Reza menarik kursi dan duduk di hadapan Nadira. Ia memperhatikan wajah perempuan itu, yang tetap sama seperti dulu. Tenang, misterius, namun selalu terasa seperti rumah.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Reza. Nadira tersenyum kecil, tetapi ada sesuatu di matanya yang membuat Reza merasa gelisah.
"Aku akan menikah," jawab Nadira singkat.
Dunia Reza seakan berhenti. Detak jarum jam di dinding kafe terdengar begitu pelan, namun terasa seperti suara palu godam yang menghantam kepalanya.
"Dengan siapa?" tanyanya, mencoba menahan guncangan di dadanya.
"Dengan seseorang yang mencintaiku tanpa keraguan. Dengan seseorang yang tidak membuatku merasa seperti hujan yang datang dan pergi," jawab Nadira.
Reza menggenggam cangkir kopinya, merasakan kehangatan yang tak mampu mengusir dingin di dalam dirinya. Semua kenangan mereka berputar di kepalanya—malam-malam panjang di angkringan dekat kampus, perjalanan spontan ke Pantai Parangtritis saat tengah malam, obrolan panjang tentang buku dan impian yang seolah tidak akan pernah berakhir.
"Kapan?" suara Reza hampir berbisik.
"Minggu depan."
Hening. Hanya suara tetesan air dari atap kafe yang terdengar. Reza ingin berkata banyak hal. Ingin mengatakan bahwa Nadira seharusnya bersamanya, bahwa ia mencintai perempuan itu lebih dari apa pun. Tapi mulutnya terasa terkunci.
"Aku harus pergi," kata Nadira akhirnya. Ia menutup bukunya dan berdiri. "Terima kasih untuk semua yang pernah ada, Reza."
Perempuan itu melangkah keluar kafe, meninggalkan Reza yang masih terduduk diam. Di luar, hujan mulai turun lagi. Jogja, dengan segala kenangannya, tetap sama. Tapi bagi Reza, sesuatu telah hilang. Yang tertinggal di Jogja bukan hanya jejak langkah Nadira di jalanan basah, tetapi juga hatinya yang tak pernah benar-benar bisa pergi.